Antara Suriname, The Netherlans, dan Indonesia

Antara Suriname, The Netherland, dan Indonesia
Oleh: masenugik

Berangkat tanggal 17, dan pulang tanggal 23 April 2005, adalah fieldtrip yang kami lakukan ke Negara Belanda alias the Netherlands.

Menggunakan pesawat terbang kecil Transavia Airlines setelah berangkat dari Malmö Swedia naik kereta api, ke bandara (bandar udara: air port) Kopenhagen yang juga terkenal dengan nama Kastrup (www.cph.dk), menuju Rotterdam air port. Sesampai Roterdam kami ditransfer melalui bus nomor 33, lantas ganti naik tram, sampai berhenti di Hotel Maritime (www.maritimehotel.nl) persis di depan jembatan Rotterdam.

Jadi bisa dikatakan ini adalah semacam studi banding, yang kalau dilakukan oleh anggota DPR kita pasti jadinya malah heboh. Kunjungan 6 hari tersebut dijejali dengan agenda diskusi dan presentasi di Port of Rotterdam (ketemu dengan Otoritas Pelabuhan, www.portofrotterdam.com), mengunjungi Marine Safety Rotterdam, sekaligus mengunjungi terminal container full otomtais system ECT maupun Maasvlakte dan EMO.

Sesi lain adalah mengunjungi STC (Shipping & Transport College, www.stc-r.nl) Rotterdam, IHC Holland (www.ihcholland.com) , Port of Amsterdam (www.portofamsterdam.com) United Amsterdam Stevedores, Ceres Paragon container terminal, Port of Antwerp Belgia, P&O Needloyd presentation (www.ponl.com) , Damen shipyard di Gorinchem (TNI AL beli kapal di sini, www.damen.nl) , dan UNESCO IHE yang merupakan sekolah teknik di bawah otoritas PBB (United Nations).

Bicara masalah studi banding, itu malah berkesan laporan seminar. Jadi, saya akan bercerita sisi lain tentang fieldtrip ini.

Perasaan pertama tiba di negeri Belanda ini adalah gemeter tambah jengkel, kok bisa-bisanya Negara kuecil cuilik menthik ini pernah menjajah lebih dari 350 tahun. Dari fisik geografisnya saja, Indonesia jauh lebih besar ketimbang negeri Kincir Angin ini. Jejak zaman kolonialisme masih ada, misalnya di depan Hotel Maritime, menyeberang jembatan Rotterdam, masih utuh pergudangan dengan nama Java, Borneo, Sumatra, Celebes, yang mewartakan bahwa zaman tempo doeloe itu adalah gudang VOC (Kumpeni Londo), tempat menampung hasil import ala penjajahan dari Indonesia, berdasarkan tempat pulau asalnya.

Anehnya juga, pejabat-pejabat pelabuhan di Belanda, kalau mereka menyebut Negara Indonesia, sepertinya sebuah romantika sekaligus seperti membicarakan salah satu wilayahnya.

“Oh, Indonesia… selamat pagi…. Terima kasih…..”, mereka menirukan beberapa kosa kata bahasa (Indonesia). Proyek kerjasama dengan Indonesia masih jalan, misalnya beberapa pemesanan kapal oleh militer kita, atau proyek pengerukan pantai atau sungai untuk kepentingan bisnis di lingkungan pelabuhan. Perusahaan di Belanda memang dikenal sebagai salah satu perusahaan terkenal sebagai dredging company yang laku keras di dunia shipping dan port business.

Kami juga ketemu dengan student Indonesia yang sekolah di UNESCO IHE, yang mereka juga anggota PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Belanda, organisasi yang sempat menggoyang anggota DPR kita dengan kasus studi banding, belanja barang mewah di Belanda yang baru lalu.

Nah, di sinilah ada cerita menarik ketemu dengan Pak Ruben Karijodinomo.

Sebenarnya saya juga punya sahabat di Amsterdam, Bang Heri Latief, namun ketika itu belum terlalu akrab, malah mungkin belum kenalan. Jadi, pas di Rotterdam, bukannya saya dolan ke Amsterdam, melainkan ke Swalmen, rumahnya Pak Ruben, arah timur selatan berdekaatan dengan Maastricht, yang secara fisik malah dekat dengan Jerman ketimbang Amsterdam.

Ketika itu ada waktu lowong, jumat sore, sementara pulangnya tanggal 23 Sabtu jam 1920. Jadi antara jumat sore sampai sabtu siang, student menikmati acara bebas.

Saya rencanakan berangkat bersama Arief yang teman sekelas, arek Suroboyo kerja di Jakarta itu. Namun ada acara lain (si Arief ini ketua kelas), sehingga hanya saya yang berangkat. Hilmy dari Maldives yang tadinya juga ingin ikut, pas jam-nya tiba, malah menghilang.

“He, iki Pak Ruben yo….”, kata saya membuka percakapan ketika Pak Ruben berbaik hati menjemput saya di Hotel Maritime.

“Ora lali karo aku tho, pak…” sambung saya.

“Ora, aku wis ngapalke songko foto nang internet, “jawab Pak Ruben.

Sebelumnya, memang saya dan Pak Ruben email-emailan melalui Internet. Sebuah kebetulan sebenarnya, jadinya bisa ketemu beneran. (Jadi saya juga optimis, kelak insya Allah Joglosemarwarnowarni gathering pun juga bisa terlaksana. Nunggu waktu yang tepat.)

Setelah mengurus check out hotel lebih awal, dengan argument bahwa saya akan ke bandara Rotterdam langsung dari Swalmen, maka kami pun berangkat ke Swalmen.

Bertemu pak Ruben, seperti bertemu saudara sendiri. Kulit dan ciri fisik ya seperti kita di Indonésia. Perjalanan kurang lebih 2 jam-an (Kira-kira), kami isi dengan mengobrol menggunakan bahasa Jawa ngoko. Sebabnya, kalau menggunakan bahasa Kromo halus, bukan hanya Pak Ruben, saya juga kurang trampil.

Kalao menggunakan bahasa Belanda, Pak Ruben bisa, saya tidak bisa. Kalao menggunakan bahasa Inggris, Pak Ruben lancar, sedangkan saya harus mikir lama baru ngomong.

Nah, lebih enak menggunakan bahasa Jowo ngoko, meski sepotong-potong, Pak Ruben mengerti dan tahu maksud percakapan saya.

“Adoh juga ya Pak, Swalmen.., “kata saya. Tidak terasa, bahkan bahasa Jawa saya pun cambur bahasa Indonesia. Untungnya Pak Ruben tetap mengerti.

“Iyo, iki aku nyedaki kantorku, dadi adoh songko Amsterdam ugo Rótterdam, Nanging cedak karo kantorku, “ jawab Pak Ruben sambil memperhatikan jalan.

Pak Ruben adalah seorang insinyur kimia, dan bekerja sebagai tenaga ahli di perusahaan plastik.
Kelahiran Suriname, generasi ke-4 dari leluhur Jawa, dan sudah mendapatkan kewarganegaraan sebagai orang Belanda.

“Aku sekolah nang kene, terus oleh gaweyan yo neng kene. Aku ora gelem nang politik, dadi tetap nang kene wae kerjo biasa, “kata Pak Ruben.

Memang Pak Ruben pernah ditawari sebagai politisi di Suriname, dimana Partai Jawa memiliki kekuatan yang lumayan kuat. Namun dengan berbagai pertimbangan, Pak Ruben tetap tinggal di Belanda, hinggá memiliki 2 anak, laki-laki dan perempuan yang semuanya sudah seusia mahasiswa dan kuliah di Belanda.

Rumah Pak Ruben di Swalmen terbilang perumahan baru. Di sekitarnya adalah lahan pertanian yang menghampar luas.


(bersambung).
Malmö, musim gugur di bulan september 2005, 22.48

Comments

Popular posts from this blog

Alhamdulillah Yudisium Lulus Magister Hukum Narotama Surabaya

Welcome to Joglosemarwarnowarni

Novel-Cerber: Nagasasra Sabuk Inten (1)